Kurangnya minat masyarakat terhadap Produk Dalam Negeri
1. Kurangnya minat masyarakat terhadap Produk Dalam Negeri.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, negara kepulauan yang menghubungkan dari Sabang sampai Merauke. Dari pulau–pulau tersebutlah menghasilkan banyak sumber daya alam karena di setiap pulau berbeda akan kekayaan sumber daya alamnya. Namun, penyebaran penduduk di Indonesia belum merata khususnya di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua, penduduknya tidak sepadat di Jawa. Program transmigrasi pun banyak dilakukan oleh pihak pemerintah untuk masyarakatnya, guna untuk pemerataan penduduk.
Hasil atau produk Indonesia pun sebenarnya kaya dan menghasilkan produk–produk yang berkualitas. Tentu yang seharusnya produk Indonesia itu menjadi tuan rumahnya di negeri sendiri. Namun, banyaknya monopoli dunia, produk luar negeri lebih memegang peranan pasar sehingga menjadikan minat masyarakat cenderung ke produk luar negeri.
Indonesia mengalami kendala mengenai produk dalam negeri yang kalah saing dengan luar negeri yang seharusnya bisa menjadi tuan rumah Indonesia yaitu kurangnya kesadaran masyarakat tentang pemakaian produk lokal karena kebanyakan dari masyarakat Indonesia lebih banyak mengkonsumsi atau menggunakan produk luar daripada dalam. Serta gaya mewah yang terjadi apabila memakai produk luar. Yang terjadi di Indonesia, apabila memakai produk luar itu berkesan elegan dan mewah karena harganya yang cenderung lebih tinggi dan kualitas yang dijanjikan telah bagus dan menyebar di seluruh dunia.
Penyebab Indonesia harus mengembangkan produk lokal agar memungkinkan menjadi tuan rumah Indonesia yaitu Indonesia tergerak untuk ikut maju bersama dengan negara maju lainnya. Seharusnya kita harus sebagai warga negara Indonesua harus bangkit dan bangga dengan produk lokal yang berkualitas dan menjadi tuan rumah untuk negerinya sendiri sehingga mempunyai rasa kecintaan tersendiri bagi Indonesia. Selain itu, Indonesia juga memerlukan bantuan dari pemerintah untuk mengembangkan usaha produk lokalnya agar bias menarik minat masyarakat dan kesadaran cinta tanah air.
Permasalahan tentang kurangnya minat masyarakat Indonesia dalam membeli produk anak bangsa bukan semata-mata disebabkan oleh kecintaan kami pada merek luar negeri melainkan karena kurangnya perhatian produsen terhadap keinginan konsumen, tidak memberikan barang yang bermutu, tidak menyediakan layanan purna jual, serta kurang mampu mengemas, menjual, produk yang baik. Produk buatan Indonesia yang dijual di dalam negeri sering bermutu rendah dibandingkan dengan yang dijual di luar negeri.
Kita mencoba membahas satu persatu masalah mengapa produk kita kurang diminati di pasar sendiri :
Dari segi mutu produk : dalam mutu produk yang dijual di pasar di Indonesia banyak produsen yang menjual produknya yang mempunyai mutu kualitas nomor 2, dan mutu kualitas yang nomor 1 malah dijual dipasaran luar negeri. Hal itu akan memicu konsumen dalam negeri enggan untuk membeli produk dalam negeri, memang benar harganya lebih murah tetapi untuk keamanan dan kenyamanan apalagi segi keawetan produk itu pasti rendah, padahal masyarakat sudah pintar dalam memilih barang untuk dibelinya, tidak mengapa lebih mahal asal kualitas lebih bagus
Dari segi layanan purna jual : sudah menjadi rahasia umum bila layanan purna jual produk local tidak member services yang memuaskan kepada pelanggan atau konsumen, apabila konsumen mempunyai keluhan terhadap produk yang dibeli malah dibuat bingung harus menghubungi siapa, biasanya produk lokal tidak mencantumkan nomor customer care ataupun tidak mencantumkan garansi dalam produknya.
Dari segi pengemasan produk hingga memilih segmentasi pasar yang baik dan tepat : memang ada produk dalam negeri yang kualitasnya bagus malah tampilan luarnya monoton atau kemasannya kurang menarik peminat untuk membeli, biasanya konsumen terpancing oleh kemasan luar produk jadi bisa dikatakan produk local sebagian besar kurang mempunyai variasi variasi dalam barang barang yang dijualnya, atau modelnya pun kurang mengikuti trend perkembangan jaman sekarang. Dan biasanya produsen kurang jeli untuk melihat dan memilih segmentasi pasar, biasanya produsen kurang memperhatikan apakah produknya cocok untuk kalangan kelas ekonomi atas, menengah keatas, ataupun kalangan menengah kebawah.
Pemerintah juga tidak boleh lepas tangan, dalam hal ini peran pemerintah sebagai teladan sangat diharapkan. Karena bagaimana mungkin masyarakat diminta untuk mencintai produk dalam negeri kalau pejabat pemerintahan sendiri ternyata lebih senang memakai produk-produk luar negeri.
2. Faktor Penyebab Produk Dalam Negeri kurang diminati.
a. Kurangnya Mutu Produk Dalam Negeri Dibandingkan Dengan Produk Impor
Dari sudut pandang sumber daya manusia, sebenarnya kualitas orang-orang Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan orang-orang di negara-negara maju, jika saja benar-benar mau belajar. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh-tokoh dan cendikiawan yang berasal dari negara kepulauan terbesar di dunia ini. Namun kemauan saja tidak cukup, fasilitas pendukungnya pun harus mumpuni. Hal inilah yang harus menjadi sorotan. Bahwa dalam proses belajarnya, orang-orang Indonesia belum mendapatkan fasilitas yang memadai, belum maksimalnya akses informasi dari masyarakat di pedalaman. Serta yang tidak boleh dilupakan juga adalah asupan gizi sebagian besar masyarakat yang jauh dari pemenuhannya karena alasan ekonomi. Beberapa gambaran diatas menjadi mata rantai permasalahan yang saling terkait yang membuat kualitas orang-orang Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan orang-orang di negara-negara maju.
Kualitas masyarakat yang rendah juga berakibat pada rendahnya mutu atau kualitas produk (barang maupun jasa) yang dihasilkan. Hal ini karena belum maksimalnya penerapan sebuah teknologi dalam proses produksi. Kebanyakan masyarakat hanya mengandalkan pengalaman saja tanpa diiringi penguasaan konsep dan teknologi yang membuat tidak maksimalnya proses produksi.
Permasalahan yang selanjutnya adalah dalam menjalankan proses produksinya, pelaku usaha di tanah air selalu dibayang-bayangi masalah finansial atau pendanaan proses produksi. Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah telah memberikan bantuan dengan mengucurkan dana usaha bagi pengusaha kecil dan menengah. Namun, yang harus disoroti adalah bahwa bantuan-bantuan yang ditujukan kepada kalangan pengusaha kecil dan menengah itu belum termanfaatkan dengan maksimal. Karena ternyata dalam penyalurannya, bantuan tersebut banyak yang salah sasaran. Sehingga wajar saja bila pengusaha kecil dan menengah tidak dapat berbuat banyak untuk menyikapi masalah pedanaan ini. Secara tidak langsung keadaan ini mengganggu proses produksi yang membuat mereka lebih memilih untuk menekan biaya produksi hingga seminimal mungkin. Misalnya saja dengan menggunakan bahan baku yang kualitasnya dibawah standar yang seharusnya serta penggunaan teknologi konvensional yang membuat proses produksi tidak maksimal.
Dua permasalahan klasik diatas merupakan sebagian kecil dari hambatan-hambatan yang membuat produk-produk dalam negeri menjadi lebih rendah mutunya jika dibandingkan dengan produk-produk yang diproduksi negara-negara maju. Hal ini tentunya menjadi ancaman serius bagi pelaku usaha nasional karena kita telah memasuki gerbang perdagangan bebas. Sedangkan pada perdagangan bebas itu diharapkan barang-barang produksi anak bangsa mampu menyaingi produk luar yang masuk ke Indonesia sehingga dapat tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
b. Kurangnya Kesadaran dan Kebanggaan Untuk Menggunakan Produk Dalam Negeri
Sudah menjadi rahasia umum bahwa produk buatan Indonesia berkelas lebih rendah dibandingkan dengan produk luar negeri. Masyarakat Indonesia umumnya telah melakukan pengaturan pada pola pikir mereka bahwa produk asal luar negeri selalu atau bahkan selamanya akan memiliki kualitas yang lebih bagus dibandingkan produk dalam negeri. Dan karena kecintaan mereka terhadap produk luar negeri, mereka rela merogoh saku dalam-dalam untuk sebuah produk luar negeri. Hal tersebut bertolak belakang dengan produk dalam negeri yang memiliki image buruk bahkan sangat buruk di mata konsumen (masyarakat Indonesia.red). Jangankan untuk merogoh saku dalam-dalam, merogoh di permukaan saku pun sepertinya masyarakat enggan kalau uang itu hanya untuk membeli sebuah barang produksi dalam negeri. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan berpikir bahwa membeli barang produksi dalam negeri sama saja dengan membuang uang.
Ada beberapa alasan yang menjadi faktor utama masyarakat Indonesia lebih memlilih produk luar negeri. Sebagian dari mereka berasumsi bahwa produk luar negeri memiliki kualitas yang lebih bagus. Mungkin pengibaratan kualitas produk luar negeri dan produk dalam negeri bagaikan langit dan bumi. Sangat signifikan! Sebagian lagi berdalih bahwa produk luar negeri itu lebih elit dan berkelas yang diukur dari segi kualitas atau mungkin juga dari negara asal produk tersebut. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa produk yang berasal dari negara-negara di Eropa lebih berkelas dibanding produk yang berasal dari negara-negara di kawasan Asia.
Menurut para pecandu produk luar negeri, yang membuat produk dalam negeri terpuruk adalah tidak sebandingnya harga dengan kualitas produk dalam negeri. Alasan mereka bahwa produk dalam negeri memiliki kualitas rendah tetapi dipatok dengan harga yang cukup tinggi. Berbeda dengan produk luar negeri yang mereka anggap sebanding antara kualitas dan harganya. Walaupun memiliki harga yang relatif lebih mahal, tetapi mereka tidak segan mengorbankan uang yang lebih banyak untuk barang tersebut.
Sebenarnya banyak alasan yang seharusnya membuat masyarakat Indonesia lebih memilih produk dalam negeri. Pertama, membeli produk dalam negeri secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan para pekerja lokal. Mengapa? Karena semakin banyak permintaan akan produk dalam negeri akan semakin meningkatkan beban pekerja dan itu berarti akan meningkatkan pula upah yang mereka terima. Kedua, membeli produk dalam negeri dapat membantu mengurangi jumlah pengangguran. Apabila permintaan produk dalam negeri meningkat, maka untuk memenuhi pertambahan jumlah permintaan, produsen kemungkinan akan menambah jumlah pekerjanya. Dengan kata lain kembali terbuka lowongan pekerjaan bagi masyarakat yang masih menganggur. Ketiga, membeli produk dalam negeri berarti meningkatkan pendapatan negara. Alasan terakhir adalah dengan membeli produk dalam negeri akan menentukan jati diri bangsa. Hal itu merupakan salah satu wujud cinta kita kepada Indonesia, sebagai warga negara yang baik.
Mungkin banyak yang tidak mengetahui bahwa tidak semua produk dalam negeri memiliki kualitas yang lebih rendah, misalnya buah-buahan. Sebenarnya membeli buah lokal itu memberikan lebih banyak manfaat. Cita rasa buah lokal yang lebih enak dan nutrisinya lebih optimal karena dijual dalam keadaan segar. Harganya pun lebih terjangkau. Selain itu kita ikut mencegah pemanasan global karena mengurangi jumlah pemakaian kapal kargo yang mengangkut buah-buahan impor dan tentu saja kualitas buah lokal lebih baik.
Banyak pula yang akan tercengang ketika mereka mengetahui bahwa banyak perusahaan barang-barang berlabel luar negeri menggunakan jasa orang Indonesia untuk membuat produk mereka. Seperti tas dan sepatu, banyak orang Indonesia yang bekerja sama dengan produsen luar negeri. Mereka membuat sepatu atau tas kemudian dikirimkan ke luar negeri, lalu di sana diberikan label dan dijual kembali kepada konsumen (yang kemungkinan orang Indonesia) dengan “judul” barang produksi luar negeri. Padahal barang tersebut dibuat di Indonesia. Artinya barang buatan orang Indonesia tidak selamanya berkelas rendah. Produsen luar negeri saja mengakui kualitas barang buatan orang Indonesia, mengapa kita sendiri yang notabene masyarakat Indonesia sepertinya berat untuk mengakui kelebihan itu? Gengsikah?
Tidak banyak pula dari masyarakat kita yang menyadari betapa bangsa ini telah kecanduan produk luar negeri. Saat ini barang-barang kebutuan sehari-hari mulai dari makanan, minuman, pakaian, barang elektronik, alat tulis-menulis, sampai korek api pun merupakan barang impor. Apalagi setelah diberlakukannya sistem perdagangan bebas. Produsen dalam negeri seakan tertimbun oleh barang impor hingga tak mampu lagi berproduksi karena kalah bersaing dengan produk luar negeri.
Bukannya produsen dalam negeri menawarkan produk berkualitas lebih rendah, tapi belum sempat mereka mengembangkan dan memperbaiki kualitas produk yang mereka tawarkan, produk-produk impor telah masuk dan memporak-porandakan istana perdagangan yang mereka bangun secara perlahan. Seandainya mereka memiliki waktu untuk memperbaiki produksi mereka, pasti akan mereka lakukan. Karena perbaikan kualitas produk mereka tidak hanya memberikan kepuasan bagi konsumen mereka, tetapi juga mendatangkan keuntungan yang lebih besar bagi mereka. Tetapi sebelum hal itu terjadi, produsen raksasa luar negeri datang sebagai rival mereka dalam berdagang di negeri sendiri.
Lihatlah yang terjadi pada Korea Selatan yang 40-an tahun lalu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Indonesia. Tapi sekarang ‘level’ mereka bahkan berada jauh di atas Indonesia. Mereka mampu menjadi produsen barang raksasa yang cukup berpengaruh di Asia. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari peranan masyarakat Korea Selatan sendiri. Mereka lebih bangga dan meras lebih elit bila menggunakan produk buatan negara mereka sendiri.
Hal yang sama juga terjadi pada Jepang. Negara yang terpuruk, bahkan dapat dikatakan mati ketika dibombardir oleh tentara sekutu pada tahun 1945. Tahun yang sama ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Masyarakat Jepang hampir anti dengan produk impor. Mereka akan tetap mengonsumsi produk dari negara mereka sendiri walaupun harganya lebih mahal dan kualitas lebih rendah. Tetapi dengan tindakan seperti itu justru membangkitkan semangat produsen dalam negeri untuk memberikan yang lebih baik bagi para konsumen mereka. Hal ini merupakan apresiasi atas kesetiaan mereka untuk tetap menggunakan produk dalam negeri. Sehingga Jepang berhasil melahirkan banyak perusahaan raksasa yang memiliki pengaruh besar di Asia bahkan dunia. Barang-barang mereka yang bermerk Sony, Honda, Suzuki, dan Kawasaki menjadi barang kelas elit di Indonesia. Dan sekarang Jepang muncul sebagai salah satu negara maju di Asia.
Bila kedua negara di atas dibandingkan dengan Indonesia, seharusnya ketiga negara berada di level keelitan yang sama. Tapi pada kenyataannya, Indonesia tertinggal jauh di bawah mereka. Khususnya dari segi perdagangan, Indonesia hanya bisa ‘gigit jari’ atas prestasi yang mampu diraih Jepang dan Korea Selatan. Indonesia bahkan menjadi negara yang cukup konsumtif dalam menggunakan barang-barang kedua negara tersebut.
Padahal jika Indonesia mau dan berusaha untuk mencari titik cerah seperti ketika Korea Selatan masih berada di masa suram atau ketika Jepang berusaha bangkit dari keterpurukan, pasti bisa. Khususnya dalam menghargai produk hasil karya anak negeri. Korea Selatan dan Jepang bisa seperti sekarang karena masyarakatnya menghargai negara mereka. Mereka mencintai apa yang ada di negara mereka. Mereka bangga berdiri di atas kaki mereka sendiri, dengan menggunakan barang-barang dari negara mereka. Tidak seperti Indonesia yang malah merasa elit dan berkelas ketika menggunakan produk luar negeri. Jangankan bangga, memiliki rasa cinta dan menghargai produk dari negara mereka sendiri tidak.
Masyarakat Indonesia terlalu gengsi untuk menggunakan produk dalam negeri. Mereka merasa lebih elit ketika mereka menggunakan sepatu bermerk Adidas atau Puma ketimbang hanya mengalaskan kaki mereka dengan bungkusan kaki berlabel Cibaduyut. Mereka merasa lebih berkelas ketika laptop yang mereka gunakan bergambar Apple ketimbang mereka mengetik dengan Zyrex. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa berlevel lebih tinggi ketika membayar dengan dolar ketimbang rupiah.
Kapan negara ini bisa maju kalau masyarakatnya saja justru merasa lebih bangga, lebih elit, lebih berkelas, dan berlevel tinggi ketika mereka dibalut produk bermerk luar negeri? Kapan produsen dalam negeri bisa maju dan melakukan revolusi terhadap produk mereka kalau tidak ada yang mau membeli produk mereka? jawaban untuk kedua pertanyaan di atas adalah ‘tidak kan pernah terjadi’, kalau masyarakat Indonesia masih menggantung tinggi gengsinya untuk menggunakan produk dalam negeri. Sebuah negara tidak akan pernah maju ketika masyarakatnya tidak mencintai negara mereka sendiri.
c. Kurangnya Perhatian Pemerintah Pada Produk Dalam Negeri
Peran pemerintah dalam hal memajukan produk dalam negeri sudah pasti sangatlah penting. Sudah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengampanyekan slogan “cinta produk Indonesia”. Meminta konsumen agar lebih memilih produk buatan dalam negeri dan mendorong pelaku bisnis (ritel) untuk lebih mengutamakan menjual produk dalam negeri. Namun, jangan sampai itu hanya jargon belaka. Rakyat diminta mencintai produk dalam negeri sementara para pejabat sendiri justru lebih suka menggunakan produk dari luar negeri.
Jika pejabat publik, yang seharusnya jadi panutan, justru lebih suka menggunakan produk luar negeri, bagaimana bisa meminta masyarakat mencintai produk negeri sendiri? Demikian pula produsen, jika mereka sendiri lebih mencintai produk luar negeri, bagaimana mungkin mengharapkan konsumen Indonesia mencintai produk buatan mereka?
Pemerintah maupun asosiasi pengusaha, harus menerapkan standardisasi produk. Sebelum produk dalam negeri dipasarkan, harus memenuhi standar kualitas tertentu. Standar kualitas produk untuk pasar dalam negeri dengan produk untuk ekspor haruslah sama. Artinya, mereka harus memberi nilai atau penghargaan yang sama bagi konsumen di tanah air dengan konsumen di luar negeri. Jangan karena hanya untuk kebutuhan lokal, lantas menganggap remeh soal kualitas. Seolah-olah kualitas pas-pasan sudah cukup untuk konsumen lokal. Hal ini merupakan sebuah kekeliruan yang sangat besar.
Apalagi di era pasar bebas, produk dari berbagai belahan dunia sudah membanjiri negeri kita sehingga konsumen memiliki banyak pilihan. Produsen nasional harus bisa bersaing dengan menghasilkan produk berkualitas bagus, inovatif, dan harga bersaing. Sehingga masyarakat tidak merasa seolah-olah dipaksa membeli produk dalam negeri atau bahkan dianggap “berdosa” karena tidak mencintai produk dalam negeri. Sebab, tak ada yang mau dirugikan dengan membeli produk berkualitas rendah.
Demikian pula para pegawai negeri sipil (PNS). Mereka juga manusia normal yang memiliki selera sendiri. Tentu pemerintah tidak bisa memaksa mereka melalui peraturan yang mewajibkan memakai produk dalam negeri. Pemerintah harus bisa membuktikan bahwa produk dalam negeri, misalnya produk A, B, C, dan seterusnya, memang memiliki kualitas sebanding (atau bahkan lebih baik) dibanding produk serupa dari luar negeri.
Tetapi pemerintah justru tidak memberikan teladan yang baik kepada rakyat ,
Contohnya: pada tahun 2008 diadakan acara buka puasa bersama di istana negara . Sangat disayangkan sekali hampir semua menteri yang menghadiri acara tersebut memakai sepatu produksi luar negeri. Ironis memang, di tengah kampanye “cinta produk Indonesia” justru pejabat negara memberikan contoh yang tidak baik.
Konsumen Indonesia juga perlu dilibatkan atau diberi kesempatan ikut berpartisipasi dalam menilai produk dalam negeri. Konsumen akan loyal terhadap produk dalam negeri bila mereka merasa produk itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka dari segi kualitas, harga, dan inovasi. Supaya pasar kita yang sangat besar ini tidak justru lebih dinikmati para produsen dari luar negeri.
Selain itu pemerintah saat ini merasa sudah cukup puas dengan segala sesuatu yang sudah kita milki, sehingga pemerintah tidak sigap dalam mematenkan produk tersebut . Dengan sikap pemerintah yang seperti itu, dewasa ini banyak sekali produk-produk dalam negeri yang tanpa kita sadari sudah dipatenkan oleh negara lain. Alhasil produk-produk dalam negeri tersebut menjadi milik negara lain .
Dengan sikap pemerintah yang seperti itu sudah pasti rakyat sangatlah kecewa, terkesan pemerintah tidak menjaga aset yang sudah lama dimiliki oleh negara ini . Inilah salah satu sikap pemerintah yang justru bertentangan dengan kampanye yang sudah di galakkan yaitu “lestarikan aset dalam negeri” .
Rakyat pun bingung dengan sikap pemerintah. Rakyat dihimbau untuk melestarikan aset yang ada tetapi pemerintah tidak memberikan contoh yang sesuai dengan apa yang di galakan. Bagaimana rakyat bisa menjalankan apa yang digalakkan oleh pemerintah sedangkan pemerintah sendiri tidak menunjukkan contoh yang riil kepada rakyat .
Dengan sikap pemerintah yang kurang sigap, pasti akan memberikan dampak yang buruk bagi negara kita. Antara lain menurunnya omset pengusaha dalam negeri yang secara otomatis menurunkan devisa negara, kemudian hilangnya aset negara karena pemerintah tidak tegas dalam hal mematenkan aset yang telah dimiliki sehingga negara lain dengan mudah mengambilnya. Dampak lainnya yaitu adanya ketergantungan dengan produk luar negeri, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap produk dalam negeri, hingga jumlah pengangguran meningkat.
Masalah ini bukan mutlak kesalahan pemerintah saja, tapi kita pun sebaiknya introspeksi diri dalam hal ini. Masih banyak masyarakat yang gengsi apabila harus membeli atau menggunakan produk dalam negeri. Karena kebanyakan produk luar negeri mempunyai mutu yang lebih baik dari produk dalam negeri sendiri.
Meskipun sikap pemerintah terkesan plin-plan, rakyat justru harus mempunyai kesadaran sendiri untuk melestarikan aset yang sudah ada. Mungkin dengan sikap rakyat seperti itu pemerintah dapat bercermin pada sikap rakyatnya sendiri.
3. Dampak yang Ditimbulkan akibat kurangnya minat akan produk dalam negeri.
1. Produksi nasional menurun (Khususnya produk usaha kecil dan menengah).
2. Pembangunan terhambat.
3. Lapangan kerja semakin sedikit.
4. PHK terjadi dimana-mana.
5. Pengangguran meningkat.
6. Kesejahteraan masyarakat memburuk.
Perlu ditekankan disini imbas dari hal tersebut yang sangat dirasakan ujung-ujungnya adalah memburuknya kesejahteraan masyarakat yang mana ini sangat bertolakbelakang sekali dengan prinsip ekonomi kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Sistem Ekonomi Kerakyatan yaitu Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi rakyat. Sering juga disebut dengan sistem ekonomi yang demokratis. Dalam sistem ekonomi ini kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang.
4. Solusi untuk Meminimalisasi Supaya Produk Nasional Tidak Kalah Saing oleh Produk Impor.
Berdasarkan dampak di atas perlu segera dicarikan solusi supaya produk dalam negeri tetap bertahan, perekonomian Indonesia membaik juga demi kesejahteraan masyarakat kita. Solusi ini ditujukan untuk pemerintah agar cepat dan tepat dalam mengambil tindakan. Solusi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi dengan produk impor terutama produk impor dari China
Caranya adalah dengan memperbaiki masalah infrastruktur. Karena mustahil bagi Indonesia untuk bersaing dengan China bila tidak ditopang dengan infrastruktur yang memadai.
2. Mengeluarkan kebijakan safeguard
Kebijakan safeguard disisni yaitupengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). Strategi ini dilakukan jika memang pemerintah tidak mampu berkompetisi dengan beberapa sektor perdagangan luar negeri sehingga produk impor tidak terlalu banyak di negara kita.
3. Solusi complementary
Seperti apa yang dikatakan oleh A Prasetyantoko (analis kebijakan dari Center for Financial Policy Studies), Indonesia perlu memperhatikan struktur produksi dan ekspor mana yang berbeda dari negara luar. Jadi apa yang tidak di produksi di negara luar, maka produk itu dapat dijadikan produk ekspor andalan Indonesia ke negara luar. Itulah yang disebut dengan solusi complementary atau kebijakanperdagangan yang saling melengkapi antara Indonesia dengan negara luar.
4. Solusi voluntary export restraint (VER)
Dengan VER, Indonesia dapat meminta negara luar untuk secara sukarela membatasi ekspornya ke Indonesia. Caranya adalah dengan meminta negara luar mencabut subsidi ekspor dan membeli lebih banyak lagi dari Indonesia.
5. Standarisasi bagi sebuah produk
Dengan penerapan standarisasi bagi sebuah produk diharapkan mutu dari suatu produk terjamin, sehingga masyarakat kita akan lebih percaya terhadap produk yang dihasilkan dari dalam negerinya sendiri. Dengan penerapan tindakan ini diharapkan dapat meminimalisasi pasokan barang-barang impor sejenis.
6. Turunkan pajak ekspor semaksimalnya, dan perketat masuknya barang impor yang tentunya dengan harga yg demikian murah dapat menghancurkan industri dalam negeri yang baru bertumbuh.
7. Perketat pengawasan dana asing yang masuk ke negeri ini. Jangan sampai perusahaan-perusahaan nasional kita ‘dikerjai’ kembali oleh investor2 asing. Butuh kejelasan porsi kepemilikan usaha Domestik/Foreign, dan sedikit ketegasan terhadap pemindahan dana usaha ke luar negeri.
5. Kendala yang Dihadapi Pemerintah dalam Mencapai Produk Nasional Supaya Tidak Kalah Saing.
Untuk mencapai supaya produk kita tidak kalah oleh produk impor perlu adanya cara untuk mencapai tujuan tersebut, sebagaimana yang telah dikemukakan dalam solusi di atas. Tapi di sisi lain dalam pencapaian tujuan tersebut masih ditemukan beberapa kendala diantaranya sebagai berikut :
1. Kurangnya pengawasan terhadap ekspor-impor barang
Hal ini menyebabkan barang ekspor-impor leluasa masuk ditambah lagi adanya petugas yang menyalahgunakan kewenangannya (ada petugas yang disogok).
2. Minimnya minat masyarakat untuk berwirausaha
3. Kurangnya pelatihan kepada masyarakat mengenai wirausaha
4. Kurang adanya kejelasan mengenai kepemilikan usaha domestik atau asing.
Sumber :